Sabtu, 19 Oktober 2013

Rumahku Istanaku


 Rumahku, istanaku. Ungkapan itu masih cocok untuk menggambarkan sebuah rumah yang teduh, nyaman, aman, dan hangat bagi keluarga. Tapi tidak murah untuk mewujudkannya. Mahalnya biaya rumah ramah lingkungan tidak dapat dilepaskan dari banyaknya teknologi canggih yang dibenamkan di dalamnya. Contohnya saja penggunaan sensor mati-hidup yang diterapkan pada lampu rumah. Selain efektif, teknologi itu juga bisa jadi salah satu upaya mengubah perilaku masyarakat Indonesia yang boros.  
 
Apalagi masih banyak yang tidak tahu kalau rumah tinggal juga banyak menyerap energi bumi. Seiring dengan berjalannya waktu, isu pemanasan global juga ikut memengaruhi tren arsitektur rumah atau tempat hunian. Penggunaan bahan yang ramah lingkungan dan tren green minimalist menjadi konsep rumah hijau paling popular saat ini. Selain itu, masih ada aspek-aspek lain yang mendukung konsep rumah ramah lingkungan, seperti rancang bangunnya, metodologi pembangunannya, dan efisiensi penggunaan airnya.

Sayangnya, aspek penghematan energi yang menjadi bagian dari konsep rumah ramah lingkungan ternyata tidak mudah diterapkan di Indonesia. Pasalnya, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, konsep rumah ramah lingkungan cenderung dianggap mahal. Padahal, idealnya konsep rumah ramah lingkungan tidak harus mahal, tapi tidak membahayakan ekosistem. Jadi pada hakikatnya, rumah ramah lingkungan adalah rumah yang tidak merusak lingkungan.

Dalam kondisi lingkungan yang semakin rusak akibat perubahan iklim, manusia dituntut untuk benar-benar peduli dengan lingkungannya. Salah satunya, dengan berinovasi menciptakan produk-produk bermutu yang ramah lingkungan, hemat, dan efisien, khususnya yang terkait dengan rumah.


Sumber : Sindo, 2013.